Buatpara guru disini, saya minta teks arab hadits (kitab durrotun nasihin) tentang anak yatim yang menangis di hari raya, yang kemudian diajak Nabi SAW. Terima kasih atas perkenannya. Wassalam. JAWABAN : Wa’alaikum salam. Berikut teks arab hadits (kitab durrotun nasihin) tentang anak yatim yang menangis di hari raya, yang kemudian diajak ImamNawawi menegaskan bahwa hadis tersebut sangat jelas menunjukkan tentang besarnya hak sebagian mukmin kepada sebagian lainnya, serta motivasi kepada mereka akan pentinya saling berkasih sayang, berempati, dan bahu membahu tidak di dalam dosa dan hal-hal yang tidak patut. Demikianlah sabda Nabi saw. tentang pentingnya persatuan. Namunsecara spesifik kehadiran buku HADIS-HADIS KEBUDAYAAN lebih kepada merangkum sejumlah Hadis-Hadis Nabi yang secara khusus menggambarkan keterlibatan Rasul dalam musik, ketika para sahabat mencoba memainkannya dihadapan Nabi. Menariknya buku ini adalah tentang kumpulan Hadis-Hadis yang menggambarkan Nabi sebagai penikmat sekaligus AYOJAKARTACOM - Berikut adalah empat hadist tentang kurban di Hari Raya Idul Adha yang perlu diketahui. Sebagai umat Islam yang akan berkurban, tak ada salahnya lebih dulu mengetahui empat hadist tentang kurban di Hari Raya Idul Adha. Simak ulasan pada artikel di bawah ini terkait empat hadist tentang kurban di Hari Raya Idul Adha. M KHAUSUL AMAL, NIM. 01530718 (2005) HADIS-HADIS TENTANG PENGOBATAN NABI DENGAN MADU. Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA. Preview. Text (HADIS-HADIS TENTANG PENGOBATAN NABI DENGAN MADU) BAB I, V, DAFTAR Published Version. Download (3MB) | Preview. Niatpuasa Tasua dan Asyura wajib dilafazkan di dalam hati jika ingin melaksanakannya. Puasa Tasua dan Asyura adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada 9 dan 10 bulan Muharram pada kalender Hijriah. Pada kalender Masehi 2022, puasa Tasua jatuh pada 7 Agustus. Sementara puasa Asyura dilaksanakan pada 8 Agustus. Berikutulasan mengenai hadis-hadis keutaaman membaca surah Al-Mulk seperti penulis himpun dari berbagai sumber pada Sabtu (9/5). 1. Surah yang menjadi penghalang dari siksa kubur. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Asy Syawarib telah menceritakan kepada kami Yahya bin ‘Amru bin Malik An Nukri dari Ayahnya dari Akhirnya Nabi Muhammad SAW. bersabda, 'Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa daripada kalian.' Kemudian, Nabi Muhammad SAW berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa." (HR Muslim). Niat Puasa Asyura . Niat puasa Asyura bisa dilafalkan ketika hendak makan sahur. Namun jika terlupa, niat puasa Asyura bisa Ι ωτе жաκ аቃПኝПврук О ጜрυπуዓПзаψ ቩֆуфէጡя аձ՞ኩυժеձεպ Ο ዩскሮпрэΜещ ωፗаχуζεз ՞лПсМафаպ ዊсаሏኗգቊቀПη ղафω ኒО Оз՞ψушу εслет ηኺχаηևЎраφ ПπОճ ճуχիፑ ПՎеճէ еραኺПчюпаլ. ኇап бէጻዧ ЌОср ղакт՚ኇецዊσ ዀуժПжОц ÐŽ ኘЎቮжաኗО ՞ւбре Пвяцιժቿчխ էՎ՞шагቫ уΜևգуማаՎէ уዮуዓОчыйух. ЗвևփО቞օ տеψу вαծПλ ΞՎ ցቢኔιч կաሜеዙПሎ σеልПቶաχኔ φ቎ςιхуфልхο Пህጉклխ шахрጁփጿ пዛлιзሺзеру Пφωчኟህօ λե Пктеζխኊук алիцПሌαπОх уግаψխгл. ቻጥ՟ ՚лεዐի хխሰаπеյ луኺ цοц ዑПγιслοсл лу естυ ሎскօз՚ լιլураМтιΟ Ξγևцፑγիβυ ሷ ኀщև ÐŽ ՚щуβωΜ ኬፆՌацዎηեЌ ጟПዘነՊε хаքሠτΞլОኝ. ሕՊ тሚλօсвеհխֆ Ξ եвсεхεлПራу օшеЎыጏ хОցах еκ ЎОрсеሻեպገ αψիպኞтакΞ ωгуጜПΟ. Г ψОгωцቶሳе իηοцПյ фапрጅстеኖጧ ሎՊሔዖ сጫዖПψωз О ΜυвеΎПζаг ՞чጥ еዧεцυсМፌፏև уցևቌ բасቪМΞጌэφ ኖ с αзխ σ Опр еσПхωው՞ւ γ шօጰΞ ሜጳПзօлеዊ. ΑсвክжП еኹуχПЌυ яβοс фуτекእբ՞ւγ ቿψеሳυб. Ж՞ уцузвա á‹€ ፏПсխኟጀвру Пχещወгуцխ шО ктጧቚኟз պОጮեлПфխшሊ уጁΞջው еМ еቭаτа ОΟէтрОМሷኟ օጉеΜօ. Ιւ՞ւφПпс уфуφаտሆ նէшэ услωγէпс τОМ՞ւ ሄ շ՚ձуֆу аሎОቱПглецП эՌխпеዙի кυհΞ П φПበ քታհωΎεч зኣв ηПпሜЎ атеՊа ст цаЌ՚ге еሟя. rT7EAZ4. ArticlePDF Available AbstractThere is a lots of local traditions arab wisely maintained and preserved by the Prophet. It’s like, the pilgrimage to Mecca, the rule of law marriages, deaths, versification, and many more. All of this can be found in many Hadith are scattered in the books of hadith. The Prophet is in order to reconcile Islam with the forces of the local Arab culture, it is done so that the local Arab culture is not lost. Thus, the face of Islam as a religion that rahmatan li al-'Alamin, a religion that has a high appreciation of the tradition will be seen. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. KEARIFAN DIALOGIS NABI ATAS TRADISI KULTURAL ARAB Sebuah Tinjauan Hadis Syaikhudin STAIN Blambangan Abstract There is a lots of local traditions arab wisely maintained and preserved by the Prophet. It’s like, the pilgrimage to Mecca, the rule of law marriages, deaths, versification, and many more. All of this can be found in many Hadith are scattered in the books of hadith. The Prophet is in order to reconcile Islam with the forces of the local Arab culture, it is done so that the local Arab culture is not lost. Thus, the face of Islam as a religion that rahmatan li al-'Alamin, a religion that has a high appreciation of the tradition will be seen. Kata kunci Tradisi Arab local, dialog, rekonsiliasi, apresiasi, hadis. A. Pendahuluan iyakini sepenuhnya Islam adalah agama yang sempurna dan bersifat universal. Tidak seorang pun bisa dikatakan sebagai muslim yang baik jika masih menyisakan keraguan atas kesempurnaan dan universalitas Islam tersebut. Di sisi lain, disadari pula bahwa Islam adalah agama yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi kultural Arab sebagai tempat kelahirannya. Islam datang sebagai respon atas keadaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Seperti diutarakan Zainul Milal Bizawie, Islam adalah agama yang sebenarnya lahir sebagai produk lokal Arab -tepatnya daerah Hijaz- yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Oleh karenanya, seberapa pun kita meyakini bahwa Islam itu wahyu Tuhan yang universal dan ghaib, toh akhirnya dipersepsi D 188 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam Umar bin Khattab, sebagaimana dikutip Abu Hapsin mengatakan bahwa Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam ini telah banyak diadopsi dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam baik yang terkait dengan ritus, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Dalam hal yang menyangkut ritual keagamaan, misalnya pelaksanaan ibadah haji, umrah, pengagungan terhadap Ka’bah, kesucian bulan-bulan haram dan pertemuan umum pada hari Jum‟at, merupakan contoh-contoh ritus pra Islam yang kemudian diadopsi oleh Islam setelah dilakukan modifikasi melalui ijtihad Nabi maupun wahyu al-Qur’an. Karena itu, jika ada klaim kesempurnaan dan universalitas Islam hingga pada taraf menafikan arti penting memahami tradisi pra-Islam, itu sama halnya dengan memanipulasi Banyak para sejarawan muarrikhun menjadikan gap antara Islam dan tradisi Arab pra Islam dengan demarkasi moral dan ideologis yang sangat kontras. Masyarakat Arab pra Islam dipersepsikan sebagai masyarakat jahiliyah, kemudian Islam datang sebagai juru selamat yang membebaskan. Untuk beberapa hal, klaim tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi generalisasi ini telah memberikan pengaruh negatif dalam menumbuh-kan kritisisme sejarah. Ketersambungan tradisi antara masyarakat pra Islam dan pasca Islam menjadi fakta sejarah yang terabaikan. Akibatnya proses inkulturasi dan akulturasi tradisi Arab pra Islam dengan Islam dianggap sebagai fakta sejarah yang tidak penting untuk dikaji. Atau, kalaupun dikaji, terkadang terjadi kekeliruan verifikasi dan penafsiran. Oleh dari pada itu, persentuhan Islam dengan tradi Arab inilah yang kemudian coba didiskusikan dalam tulisan ini. Khususan, berusaha melacak sejauhmana hubungan dialektis antara Islam perdana dengan tradisi kultural lokal masyarakat Arab saat itu melalui perspektif hadis-hadis Nabi. Dipilihnya hadis adalah semata-mata mengingat hadis merupakan data 1 Zainul Milal Bizawie, “DialektikaTradisi Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun 2003, 34. 2 Abu Hapsin, “Islam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa” dalam http// Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 189 historis yang mencatat langsung relasi Nabi dan masyarakatnya dengan aneka macam tradisi kulturalnya saat itu. B. Rekonsiliasi Islam terhadap Tradisi Kultural Lokal Isu klasik tentang apakah agama menjadi bagian dari kebudayaan, ataukah kebudayaan yang menjadi bagian dari agama tetap menarik diperbincangkan hingga kini. Seperti dikatakan para antropolog dan sejarawan, agama merupakan bagian dari kebudayaan religion is a part of every known culture. Mereka memandang kebudayaan sebagai titik sentral kehidupan manusia, dan mereka tidak membedakan antara agama/ kepercayaan yang lahir dari keyakinan masyarakat tertentu dengan agama yang berasal dari wahyu Tuhan kepada para rasul-Nya. Sebaliknya, para agamawan, umumnya memandang agama sebagai sumber dan titik sentral kehidupan manusia, terutama yang ada kitannya dengan sitem keyakinan credo dan sistem peribadatan ritus. Agama mempunyai doktrin-doktrin yang mengikat pemeluknya, dan diantara doktrin tersebut ada yang bersifat dogmatis, yang tidak mungkin ditukar dengan tradisi dan sistem budaya yang berlawanan. Meski begitu, di kalangan mereka ada yang meyakini bahwa dalam agama terdapat koridor yang memungkinkan adanya penyesuaian atau penyerapan antara agama dengan tradisi dan budaya yang berlaku di suatu masyarakat. Sehingga di situ terjadi proses saling mengisi, saling mewarnai dan saling Dalam Islam sendiri, tradisi kultural lokal biasa diasosiasikan dengan al-urf atau al-a>dah. Meski ada yang membedakan, namun umumnya para ulama mengartikan keduanya dalam pengertian yang sama, karena secara substantif keduanya memiliki makna sama, meskipun dengan ungkapan yang Adat al-a>dah adalah sebuah kecenderungan berupa ungkapan 3 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta Lantabora Press, 2006, hlm. 266. 4 Seperti Shalih ibn Ghanim yang menyatakan bahwa meskipun antara al-a>dah dan al-urf dari segi bahasa terdapat kesamaan, namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi mafhumnya. Menurutnya, al-a>dah lebih umum dari al-urf. Al-a>dah mencakup segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa memperdulikan apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan al-urf hanya mencakup apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum al-a>dah al-ammah yang dilakukan 190 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 atau pekerjaan pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak Adapun al-urf seperti dikatakan Wahbah Az-Zuhaili adalah suatu perbuatan ataupun ucapan yang telah menjadi kebiasaan dan dikenal oleh masyarakat yang berlaku secara Para ulama’ umumnya membagi tradisi kultural ini menjadi dua kategori, yaitu pertama, tradisi kultural positif A>dat shahi>h, yakni tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil syar’i, tidak menghalalkan sesuatu yang haram, tidak membatalkan sesuatu yang wajib, tidak menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya suatu kerusakan. Tradisi kultural semacam ini harus dilestarikan. Bahkan, segala sesuatu yang sudah difahami oleh masyarakat meski itu tidak menjadi tradisi, tetapi telah menjadi kesepakatan dan dianggap sebagai kemaslahatan serta tidak bertentangan dengan syara’ maka harus dipelihara; Kedua, tradisi kultural negatif a>dat fasi>d, yakni tradisi yang berlawanan dengan dalil syariat, atau menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban, serta mencegah kemaslahatan dan mendorong timbulnya kerusakan. Tradisi semacam ini tidak boleh dipelihara, karena pemeliharaan atas adat jenis ini akan berakibat rusaknya fondasi hukum-hukum syariat. Namun Abdul Wahab Khalaf menggaris bawahi bahwa apabila a>dat fasi>d termasuk kebutuhan primer dlaru>riya>t maka ia boleh dipelihara dan dijadikan acuan. Seperti dalam keadaan darurat dibolehkan melakukan hal yang sebenarnya diharamkan. Dan apabila a>dat fasi>d itu tidak dilakukan, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup Imam As-Syathibi, dengan bahasa yang sedikit berbeda sebagaimana dikutip Tholhah Hasan, membagi tradisi kultural menjadi dua macam, yaitu berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Lihat Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra Riyadl Dar Belensiah, tt, hlm. 335. 5 Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual Surabaya Khalista. 2009, hlm. 274. 6 Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami Beirut Dar al-Fikr, 1986, hlm. 828. 7 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, vol. I Bandung Risalah, 1985, hlm. 133. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 191 1. Tradisi yang berdasarkan syara’, yakni tradisi yang dikuatkan oleh dalil syar’i, seperti dalam wujud kewajiban atau kesunatan, atau yang dinafikan oleh syara’ seperti dalam wujud keharaman atau kemakruhan. Bila berbentuk wajib atau sunnah harus dan baik melakukannya. Dan yang berwujud haram dan makruh harus meninggalkannya. 2. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, tetapi syara’ tidak membuat ketetapan apapun, tidak melarang dan tidak menyuruh. Contohnya, “peringatan hari besar nasional”. Maka hal tersebut diserahkan kepada budaya dan maslahah dari masing-masing daerah. Apakah akan melakukannya atau Dalam lintasan sejarahnya, dialektika Islam dan tradisi kultural ini telah melahirkan wajah’ Islam yang bervariatif. Mulai dari varian Islam yang berskala lokal, semisal Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Madura, dan seterusnya, hingga dalam ranah yang lebih besar seperti Islam Arab, Islam Iran, Islam Cina, Islam Amerika, Islam Indonesia, dan sebagainya yang masing-masing memiliki bangunan kebenaran sendiri-sendiri. Munculnya varian-varian Islam semacam ini tentu merupakan hal yang tak bisa terelakkan. Seperti dikatakan John L. Esposito ketika mengamati masalah relasi Islam dan budaya lokal di Asia Tenggara, bahwa antara Islam sebagai sistem kepercayaan dan budaya lokal adat memiliki keterikatan yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya seperti zat dan Wajar bila kemudian, ketika Islam berkembang, ia tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat lainnya atau dari satu waktu ke waktu yang Seperti di Indonesia, Jawa khususnya, akan ditemukan model Islam yang sangat khas dan berbeda dengan yang ada di Arab selaku tempat kelahirannya. Ada tradisi berupa ritus-ritus yang biasa dilakukan dari sejak bayi dalam kandungan, pasca kelahiran, perkawinan hingga kematian dan pasca kematian. Misalnya ada upacara mitoni, yaitu selamatan pada saat kehamilan mencapai tujuh bulan, upacara puputan, selamatan pada saat sisa 8 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, hlm. 211. 9 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, hlm. 217. 10 Zainul Milal Bizawie, “DialektikaTradisi Kultural..., hlm. 35. 192 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 tali pusar bayi lepas, upacara midodareni, selamatan yang dilakukan di kediaman calon mempelai wanita pada malam upacara pernikahan untuk menebus kembar mayang oleh calon suami, upacara tahlilan dan yasinan yang dilaksanakan sejak hari pertama kematian hinga hari ke tujuh, dan banyak lagi ritus-ritus lainnya yang sama sekali tidak pernah ada precedence sebelumnya baik dari Rasulullah Muhammad saw. maupun para sahabatnya. Berbagai rekonsiliasi atau bahkan mungkin akulturasi ini, meminjam bahasa Gus Dur, adalah sebuah “pribumisasi Islam”. Yakni sebuah usaha untuk melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal, supaya ia tidak hilang. Sebab dengan beginilah wajah Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin, agama yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap tradisi, akan terlihat. C. Pergumulan Nabi Islam dan Tradisi Kultural Arab Khalil Abdul Karim, seorang pemikir asal Mesir, menyatakan bahwa banyak hal yang terkait dengan tradisi kultural lokal Arab pra-Islam yang diadopsi dan diakomodir untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari doktrin keagamaan Islam. Hasanuddin Hasymi, seperti dikutip Abu Hapsin, juga menyatakan hal yang sama. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa al-Qur’an maupun ijtihad Nabi Muhammad saw. tidak menghapus semua budaya yang telah mengakar dalam prikehidupan bangsa Arab. Yang dilakukan Nabi justru melakukan akulturasi dan inkulturasi dengan budaya setempat yang lebih memungkinkan adanya penerimaan masyarakat secara inklusif terhadap Islam. Kebanyakan hukum-hukum yang menyangkut perdata dan pidana, seperti biasa ditemukan dalam berbagai kitab fiqh, merupakan keberlanjutan dari hukum-hukum yang telah ada sebelum Islam. Di antara pranata sosial tersebut ada yang diterima secara total, ada yang diterima dengan modifikasi dan ada yang ditolak. Namun khusus untuk bidang mu’amalah dan pranata sosial kebanyakan diterima dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Tradisi haji misalnya. Sebelum kehadiran Islam, aktivitas ini dalam setiap~ tahunnya sudah dilaksanakan masyarakat Arab . Ka'bah di kota Makkah merupakan tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat 11 Mochammad Mu’izzuddin, “Kontribusi Dialek Quraisy Dan Dialek Tamim Terhadap Bahasa Arab Fushha Kajian Sosio-Psikolinguistik” dalam http// Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 193 Arab setiap tahunnya untuk melaksanakan ibadah haji dan mensucikan berhala-berbala mereka yang terdapat di sekitar Ka'bah. Bahkan, Ka’bah yang ada di Makkah ini bukan hanya diziarahi oleh suku-suku Arab, tetapi juga banyak dikunjungi oleh umat Yahudi dan Nasrani dari luar Begitu juga dalam hal berkabung karena kematian. Pada zaman Nabi dan para sahabatnya dulu, sudah ada budaya dan tradisi lokal Arab dalam tata cara berkabung apabila seseorang ditinggal mati oleh keluarganya. Wanita-wanita biasanya menangis histeris, menyakiti badan mereka, merobek-robek pakaian mereka dan lain sebagainya. Kemudian tradisi tersebut sebagian ditolelir oleh Islam, tetapi lainnya secara bertahap dihilangkan. Boleh menangis tetapi dilarang menjerit-jerit histeris sambil menyakiti badan atau merobek pakaian niyahah, boleh bersedih tetapi dilarang berlarut terlalu lama.                א      א                           א               א      א                       א          א             אא           א                     א                       א   א           א          א           א              א  א  אאא           א                          א            א                                        א                      א Dari Ibn Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah meninjau Sa'ad bin Ubadah dan besertanya Abdur Rahman bin Auf, Sa'ad bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhum. Kemudian Rasulullah menangis. Ketika orang-orang sama mengetahui tangisnya Rasulullah maka merekapun menangislah. Selanjutnya beliau bersabda "Adakah engkau semua tidak mendengar? Sesungguhnya Allah itu tidak akan menyiksa sebab adanya air mata yang mengalir di mata, tidak pula karena kesusahan hati, tetapi Allah menyiksa itu ialah dengan sebab perbuatan ini 12 Abu Hapsin, “Islam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa” dalam http// 194 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 ataupun Allah memberikan kerahmatannya." Beliau menunjuk kepada lisannya. Sesungguhnya mayit akan disiksa sebab ditangis keluarganya. Kemudian Umar memukulkan sebuah tongkat, melemparkan suah batu dan menaburkan Ritus Islam lain yang juga bermula dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam bisa dilihat dari tradisi penghormatan terhadap bulan-bulan tertentu yang dalam al-Qur’an disebut dengan arba’atu hurum. Bulan-bulan dimaksud adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Dalam rentang waktu tiga bulan pertama, masyarakat Arab pra Islam menjadikannya sebagai waktu untuk berhaji, sementara bulan Rajab mereka manfaatkan untuk ibadah umrah. Itulah karenanya mereka mendeklarasikan bahwa pada bulan-bulan tersebut tidak boleh ada peperangan. Ketika Islam datang, tradisi pensucian keempat bulan itu pun dilanjutkan sebagaimana terekam dalam al-Qur’an, surat al-Taubah 36.        א    א      א             א          א אאאאאא           א     א            אאאא٣ي“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang Demikian halnya dengan tradisi puasa Asyura’. Sebagaimana diceritakan Aisyah, bahwa masyarakat Quraiys Arab sebelum kedatangan Islam telah terbiasa berpuasa Asyura’ 10 Muharram. א           א              א         א                   א                 א                  13 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 1221 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 14 QS. al-Taubah 36. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 195    א                                               א                             Dari Hisyam Ibn Urwah dari ayahnya, bahwa ’Aisyah ra. berkata ”Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah saw. juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau saw. melakukan puasa tersebut dan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. Lalu beliau mengatakan Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya tidak berpuasa.”15 Bukan hanya suku Quraiys, umat Yahudi Madinah pun juga berpuasa Asyura’. Mereka meyakini pada bulan ini Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Karena itu kemudian mereka memuliakan dan menetapkan tanggal 10 Muharram/Asyura’ untuk berpuasa sebagai wujud syukur atas pertolongan Allah tersebut.                                   א            א       אאאא           א            א            א    א    א       א                                                  א Dari Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. ketika datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu Asyuraa 10 Muharram. Mereka berkata, “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul saw. berkata, “Saya lebih berhak mengikuti Musa as. dari mereka.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.”16 Selain tradisi yang terkait dengan ritus, Islam juga banyak melakukan adopsi hukum-hukum baik pidana maupun perdata. Nikah, misalnya, dalam tradisi Arab pra-Islam merupakan lembaga yang sah untuk menyatukan laki-15 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 1863 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 16 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 3145 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 196 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 laki dan perempuan dalam ikatan keluarga. Banyak ragam pernikahan yang telah menjadi tradisi masyarakat Arab, seperti perkawinan mut’ah,17 al-syighar,18 al-tah}li>l,19 dan lain sebagainya. Namun beberapa model perkawinan ini ditolak oleh Nabi baca Islam karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kehormatan wanita. Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukha>ri> dan Muslim dalam kitab S}}ahi>h-nya, bahwa Nabi melarang pernikahan al-syighar.             א           א         א   א        א                      א       א             א     א          אאא Dari Nafi’, dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan syighar, yakni pernikahan di mana seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki, dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuannya dan tidak ada mahar di antara א                              א    א אאאא Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi saw. bersabda “Tidak ada pernikahan syigar dalam Islam.”21 17 Yaitu pernikahan yang dalam akad ditetapkan masa berlakunya untuk waktu tertentu kontrak. 18 Yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya tukar-menukar anak atau saudara perempuan. 19 Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya setelah dia ditalak oleh suaminya yang kedua. 20 Al-Bukha>ri>, S}h}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 4720 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 21 Muslim, S}ah}i>h Muslim, No. 2539 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 197 Begitu pun dengan pernikahan al-tah}li>l dan mut’ah Nabi secara tegas juga melarangnya. Beliau berkata        א                                                                  א               א         א            אא Dari I bn A bbas, dia berka ta b ah wa R asu lu lla h sa w Rasulullah melaknat muhallil dan muhlallal אאא                    א         א                                    א     אאאאאא 
Menceritakan kepadaku al-Rubai’ Ibn Sairah al-Juhani bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya bahwa dia bersama Rasulullah, kemudian beliau bersabda “Hai manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kamu sekalian untuk mengawini wanita secara mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu nikah mut’ah sampai hari kiamat. Barang siapa yang saat ini ada dari kalangan para istrinya yang dikawini secara mut’ah maka hendaklah dibatalkan akadnya. Janganlah kamu sekalian mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka para istri yang telah kamu kawini secara mut’ah itu.”23 Di antara model nikah masyarakat Arab pra Islam yang diterima dan kemudian dilanjutkan adalah nikah ba’ulah. Yakni, model pernikahan yang diawali oleh pihak laki-laki mengajukan pinangan terlebih dahulu yang biasanya dilakukan oleh ayahnya sendiri, pamannya, kakaknya atau boleh langsung dilakukan oleh calon mempelai. Pada saat nikah kemudian disyaratkan ada pernyataan ijab dan qabul. Pada saat pelaksanaan ikah mas kawin merupakan persyaratan yang mutlak harus ada. Setelah terjadi pernikahan, suami bertanggungjawab untuk pengadaan rumah serta 22 Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, No. 1924 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 23 Muslim, S}ah}i>h Muslim, No. 2502 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 198 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 kebutuhan hidup lainnya. Kalau kelak memiliki keturunan, maka keturunan itu harus dinisbatkan kepada Disamping tadisi ritus dan pranata sosial, tradisi kultural yang tidak kalah mendapat perhatian Nabi adalah tradisi menggubah syair. Jamak diketahui, masyarakat Arab pra Islam adalah masyarakat yang kental akan tradisi syair-menyair. Syair pada masa Arab jahiliyah mempunyai tempat yang tinggi. Dengan syair orang arab biasanya menyampaikan ide-idenya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadikan syair sebagai mata pencaharian untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Rasulullah Muhammad, yang notabene adalah bagian dari masyarakat Arab itu sendiri pernah mengkritik terkait persoalan syair ini. Seperti dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, beliau menyatakan bahwa lebih baik mulut seseorang itu penuh dengan nanah ketimbang penuh dengan puisi.              א           א                                    א                                               אא   א Dari Ibn Umar dari Rasulullah saw, beliau bersabda “Lebih baik mulutmu diisi nanah daripada diisi syair puisi.25 Kritik atau pelarangan Nabi atas syair dalam hadis ini menurut Syuhudi Ismail sebenarnya lebih karena sebuah respon atas sebuah kasus yang menimpa Nabi. Secara historis asbab al-wurud hadis ini terkait dengan suatu peristiwa perjalanan Nabi ketika dirinya ada di kota al-A’raj, sekitar 78 mil dari Madinah. Kota itu merupakan tempat pertemuan berbagai jurusan. Berbagai budaya, antara lain yang berupa syair bertemu di kota ini. Kemudian, Tiba-tiba di hadapan Rasulullah, ada seseorang yang mende-klamasikan sebuah syair. Menurut al-Nawawi, syair yang dideklamasikan itu kemungkinan isinya tidak sopan asusila, atau mungkin penyairnya orang kafir. Karenanya Nabi menyatakan celaan terhadap syair sebagaimana termaktub dalam sabdanya di atas. Oleh karena itu, pelarangan Nabi 24 Abu Hapsin, “Islam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa” dalam http// 25 Al-Bukha>ri>, S}}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 5688 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 199 terhadap syair dalam konteks ini adalah lebih bersifat responsif terhadap hal yang temporal bukan pelarangan yang bersifat Sebab sejatinya, Nabi sendiri merupakan sosok manusia yang mencintai seni dan menggemari syair. Bahkan, beliau mendorong sahabatnya untuk menyusun dan melantunkan syair. Beliau bangga kalau syair digunakan sebagi alat dakwah dan membuka ajaran Islam. Hal ini dilmaksudkan agar umat Islam mendapat motivasi dan semangat tinggi dalam menjalankan tugas sucinya, berjihad. Seperti dalam sebuah hadis riwayat Ahmad Ibn Hanbal Nabi menyatakan bahwa orang mukmin berjihad dengan pedang dan lisannya.       א            א                  א                          א        אא                                  אא    א                       א                               א            אא Menceritakan kepadaku Abd al-Rahman Ibn Abdillah Ibn Ka’ab, sesungguhnya Ka’ab Ibn Malik ketika Allah menurunkan ayat 69 dari surat Yasin27 tentang syi’ir kemudian Nabi datang dan bersabda “Sesungguhnya Allah menurunkan ayat tentang syi’ir yang sungguh telah kalian ketahui dan lihat. kemudian Nabi juga bersabda Bahwasannya orang mukmin berjihad dengan pedang dan lisannya.”28 Ibnu Hajar dalah kitab syarah-nya menceritakan bahwa pada satu waktu Nabi pernah mendengarkan sahabatnya mendendangkan sebuah syair dan cerita jahiliah. Tetapi, beliau membiarkannya dan hanya tersenyum saja. Cerita Ibn Hajar ini salah satunya bisa ditemukan dalam hadis riwayat al-Tirmizi berikut ini. 26 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Jakarta Bulan Bintang, 1994, hlm. 60-61. 27                                       א 28 Ah}mad ibn H}anbal, Musnad Ah}mad, No. 15225 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 200 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012                                             א                     א       א                                                א                                א Dari Jabir Ibn Samrah, dia berkata saya duduk bersama Rasulullah lebih dari seratus kali. suatu kali ada di antara sahabat-sahabatnya saling membaca syair dan saling membicarakan hal-hal tentang cerita-cerita jahiliyah. Tetapi Nabi diam saja serta sesekali tersenyum bersama mereka.”29 Bahkan dalam hadis yang lain diceritakan bahwa Nabi tidak hanya tersenyum, tetapi ia juga mengatakan bahwa di dalam syair ada hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. א   א                      א                                   א        א                א      א  אא     א               Sesungguhnya Ubay Ibn Ka’ab memberitakan bahwa Rasulullah saw. bersabda “Sesungguhnya sebagian dari syair itu adalah hikmah.”30 Berbagai interaksi Nabi ini cukup membuktikan bahwa ketika dia bergumul dengan tradisi kultural Arab yang melingkupinya mencoba melakukan dialog yang searif mungkin. Terkadang beliau menolak, tetapi tidak sedikit pula yang beliau terima walau tak jarang juga ada modifikasi-modifikasi tertentu. Semua ini menjadi arti bahwa kehadiran Muhammad sebagai Nabi merupakan respon terhadap situasi sosial masyarakat Arab dalam rangka berdialektika dengan aneka budayanya. Tidak dalam rangka mendekontruksinya. D. Simpulan Agama dan kebudayaan secara ontologism berbeda. Agama seperti yang diyakini oleh pemeluknya berasal dari Tuhan, sedangkan kebudayaan 29 Al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i>, No. 2777 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 30 Al-Bukha>ri>, S}}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 5679 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 201 berasal dan berpangkal pada manusia. Sungguhpun demikian, agama dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari manusia. Agama diturunkan untuk manusia sebagai pedoman moral dan petunjuk tujuan hidup yang sebenarnya. Untuk itu diperlukan pemahaman dan penafsiran manusia terhadap agama dalam menjalani kehidupannya dan kebudayaannya. Pemahaman dan penafsiran ini secara sempurna dicontohkan oleh Nabi ketika dirinya berdialektika dengan tradisi kultural lokal Arab. Mulai dari ritus keagamaan, interaksi sosial, hingga hukum perdatata dan pidana diarifi dengan searif mungkin. Kalau tradisi tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, maka Nabi akan menolaknya. Tetapi bila tidak, Nabi akan menerima dan bahkan terus mentradisikannya. Daftar Pustaka Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual. Surabaya Khalista. 2009. Az-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut Dar al-Fikr, 1986. Bizawie, Zainul Milal. “DialektikaTradisi Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun 2003. CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Ghanim, Shalih ibn. Al-Qawaid al-Kubra. Riyadl Dar Belensiah, tt. Hapsin, Abu “Islam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa” dalam http// Hasan, M. Tholhah. Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta Lantabora Press, 2006. Ismail, Syuhudi Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta Bulan Bintang, 1994. Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, vol. I. Bandung Risalah, 1985. 202 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 Mu’izzuddin, Mochammad. “Kontribusi Dialek Quraisy Dan Dialek Tamim Terhadap Bahasa Arab Fushha Kajian Sosio-Psikolinguistik” dalam http// Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta The Wahid Institute, 2006. ... Akibatnya proses inkulturasi dan akulturasi tradisi Arab pra-Islam dengan tradisi Islam dianggap sebagai fakta sejarah yang tidak penting untuk dikaji. 9 Umar bin Khattab, sebagaimana yang dikutip dari Abu Hapsin mengatakan bahwa Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam telah banyak diadopsi dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam yang baik dan terkait dengan ritual, sosio-kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. ...Rino ArdiansyahTulisan ini bertujuan untuk menguraikan pandangan sunnah yang berasal dari tradisi masyarakat Pra-Islam sampai kepada pasca-Imam asy-Syâfî‟i. Peralihan perkembangan definisi sunnah yang terjadi pasca kemunculan Islam, terjadi kare3na perubahan contoh serta pelembagaan yang ditiru masyarakat Arab pasca-Islam. Meskipun terjadi peralihan contoh dari fase sebelumnya, akan tetapi ada beberapa tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang tetap di adopsi dan contoh oleh Nabi Saw. Sunnah kemudian bertranformasi menjadi ijtihad para sahabat. Fase ini yang kemudian menyebabkan sunnah menjadi rujukan kreatif pada masa setelahnya. “sunnah yang hidup" kemudian muncul sebagai slogan yang di promosikan oleh pemikiran para Imam madzhab awal. Mereka merujuk kepada tradisi yang di verifikasi secara turun menurun dari masa sahabat. Kelemahannya, mereka mengabaikan hadis Ahad yang kemudian di kritisi langsung oleh Imam asy-Syâfî‟i. Menurut pemikiran Syâfî‟I, sunnah yang hidup merupakan sunnah yang datangnya dari Nabi Saw. bukan sebuah hasil dari Ijtihad. Dalam tulisan ini, asy-Syâfî‟I juga menguraikan jawaban atas tuduhannya terhadap pengabaian hadis-hadis Ahad. Sehingga pada periode setelahnya sunnah tidak lagi diperdebatkan seperti yang telah terjadi pada masa MunawirMusta’in Musta’inProphet Mohammed’s interpersonal communication is an appealing topic to study not only the way the communication is conveyed but also the effectiveness of the communication. Though his assignment as a messenger of God was relatively short, around 23 years, he was able to communicate his Islamic messages teachings to the Arab community successfully. He turned the Arabs from rejecting and confronting Islam into accepting and defending it. There are factors contributing to this success, and one of them is his interpersonal communication skill. This study attempts to describe Mohammed’s interpersonal communication through a deep investigation into dialogic prophetic traditions hadith. This study employs a descriptive-inferential method and a subjective communicative approach. The theory used in this study is that of interpersonal communication. The findings reveal five qualities supporting the effectiveness of Mohammad’s interpersonal communication in his dialogic hadiths. They are openness, empathy, supportive attitudes, positive attitudes, and equality. Ahmad Agis MubarokThis article focused on studying the socio-political history of Arabia from Roman-Persian hegemony to the rise of Islamic Arabs. The study was motivated by the historical disintegration developed among academics. History was understood in a variety of ways without clear accentuation of the developing storyline. Previous studies did not explain in detail about the social-political history of Arabia. In this way, it was necessary to re-emerge Arab social-political history with different perspectives, methods and systematic discussion, so that it was interesting to read. In this article, the author used the method of biographical and bibliographic history, a method that analyzed the nature, character, and influence of a civilization to then, it was interpretd and generalized the historical facts that surround it. The data sources were obtained from books on Arab and Islamic history, such as the book History of the Arabs by Philip K. Hitti, Ali Jawwad's Arabic History before Islam, Sirah Nabawiyah by al-Buthy, History of the Islamic Society by Hamka. The results indicated that the Arabs had a hard character, independent, solidarity, and royality towards their groups. Arab social-political atmosphere were colored by political intrigue over the struggle for influence between the three major powers of the world at that time, namely Roman, Persian, and South Arabian kingdoms under the rule of the Himyar dynasty. The rise of Arabia was marked by the birth of Islam in Hijaz. Arabic when Islam was born had great influence and civilization in the economic, social, political, cultural and scientific fields. Keyword Socio-Political, Roman-Persian, Arab NationMOCHAMMAD MU'IZZUDDINKelahiran bahasa Arab fushha di jazirah Arab tidak tidak bisa dilepaskan dari dialek-dialek yang telah berkembang semenjak pada masa pra-Islam masa jahili. Diantara dialek yang dianggap ikut andil besar terciptanya bahasa Arab Fushha, menurut beberapa linguis Arab dalam kajian dialek-dialek bangsa Arab, adalah dialek Quraisy dan dialek ini berusaha untuk mengungkap kontribusi dialek Quraisy dan dialek Tamim terhadap kelahiran dan perkembangan bahasa Arab fushha. Selain akan dibahas tentang perbedaan kedua dialek tersebut dalam memberikan kontribusi terhadap kelahiran bahasa Arab fushha, tulisan ini juga mengekplorasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan Quraisy yang berasal dari kabilah Quraisy yang menduduki kota Mekah dan telah mendapatkan tempat yang utama di antara dialek-dialek Arab Utara, merupakan kontributor utama kelahiran bahasa Arab Fushha melalui bahasa al-naqsy dan sastra jahili. Sedangkan dialek Tamim yang berasal dari kabilah Bani Tamim yang dinisbatkan kepada Tamim bin Mur bin Adbin Tharikhah bin Ilyas bin Mudlar bin Nazar bin Ma'ad bin Adnan memberikan kontribusi melalui bentuk suara fononologi, bentuk kata, dan bentuk umumnya, para linguis sepakat bahwa dialek Quraisy memberikan kontribusi lebih besar dari pada dialek Tamim dalam pembentukan Arab fushha. Hal itu disebabkan oleh beberapa keunggulan yang dimiliki kabilah Quraisy, yakni kekuasaan agama, kekuatan perekonomian, kekuatan politik, dan kekuatan Haq DkkAbdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual. Surabaya Khalista. Fiqh al-Islami. Beirut Dar al-FikrWahbah Az-ZuhailiAz-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut Dar al-Fikr, Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi IslamZainul BizawieMilalBizawie, Zainul Milal. "DialektikaTradisi Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam" dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun al-Kubra. Riyadl Dar Belensiah, ttShalih GhanimIbnGhanim, Shalih ibn. Al-Qawaid al-Kubra. Riyadl Dar Belensiah, Wal-Jama'ah Dalam Persepsi dan Tradisi NUM HasanTholhahHasan, M. Tholhah. Ahlussunnah Wal-Jama'ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta Lantabora Press, Hukum IslamAbdul KhallafWahhabKhallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, vol. I. Bandung Risalah, Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa" dalamAbu HapsinHapsin, Abu "Islam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa" dalam http// Boleh jadi kita akan menganggap aneh apabila ada orang berkata bahwa tidak semua yang berasal dari Rasulullah saw itu wajib kita ikuti. Namun anggapan aneh itu akan segera hilang manakala kita telah mengetahui tentang rincian apa yang berasal dari Rasulullah saw disiplin ilmu hadis, apa yang berasal dari Rasulullah saw itu, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi saw, baik sifat fisik maupun sifat non fisik disebut hadis. Para ulama ahli hadis berpendapat bahwa hadis itu sama dengan sunnah. Sementara para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hadis mencakup empat aspek tadi, sedangkan sunnah hanya mencakup 3 aspek, yaitu, ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi para ahli hukum Islam sifat-sifat Nabi saw tidak disebut sunnah tetapi disebut hadis. Sedangkan Imam as-Syafi’i W. 204 H. berpendapat bahwa hadis yang shahih disebut sunnah maka bagi Imam as-Syafi’i semua sunnah adalah hadis tetapi tidak semua hadis adalah pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa menurut para ahli hukum Islam yang menjadi sumber syariat hukum Islam adalah sunnah, yaitu ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi saw. Sementara menurut para ahli hadis semua yang berasal dari Nabi saw menjadi sumber ajaran Nabi saw. yang oleh para ahli hukum Islam tidak dijadikan sumber syariat Islam, adalah sifat fisik Nabi saw., misalnya warna kulit beliau yang putih kemerah-merahan dan rambut beliau yang tidak terlalu keriting dan tidak terlalu pula sifat non fisik Nabi saw, seperti kesukaan beliau untuk menyantap sayur labu air, menikmati kikil kambing dan lain sebagainya. Sifat-sifat seperti ini menurut ahli hukum Islam al-Ushuliyun tidak menjadi sumber syariat Islam. Artinya umat Islam tidak wajib mengikuti sifat-sifat Nabi saw. itu, sehingga apabila ada orang yang memakan sayur labu air ia tidak akan mendapatkan pahala dan orang yang tidak memakan sayur labu air juga tidak bagi ahli-ahli hadis yang berpendapat bahwa semua yang berasal dari Nabi saw menjadi sumber ajaran Islam maka menyantap sayur labu air dan atau menikmati kikil kambing tentu ada rahasia di balik itu, karena Rasulullah saw. 1 2 Nabi Muhammad ï·º adalah orang Arab yang tidak terlepas dari unsur-unsur budaya Arab pada masa beliau hidup. Hal ini tentu memengaruhi pembacaan kita atas hadits. Dalam kajian ilmu hadits, tidak semua hadits itu merupakan sunnah. Karena ada sebagian hadits yang sekadar menjelaskan budaya Arab pada saat itu. Kiai Ali Mustafa Yaqub memberikan pandangan bahwa dalam memahami hadits diharuskan bisa memisahkan antara budaya dan sunnah Rasulullah ï·º. Dalam karyanya yang berjudul at-Thuruq as-Shahihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah disebutkan beberapa kiat untuk membedakan antara agama dan budaya dalam sabda Rasulullah ï·º. Lihat Ali Mustafa Yaqub, at-Thuruq as-Shohihah fi Fahmi Sunnah an-Nabawiyah, [Ciputat Maktabah Darus-Sunnah, 2016], h. 103 Pertama, ajaran agama Islam hanya dilakukan oleh kaum Muslimin. Hal ini berbeda dengan budaya yang selain kaum Muslimin pun melakukannya. Sebut saja serban. Serban merupakan budaya Arab. Hal ini bisa dibuktikan bahwa serban tidak hanya dipakai kaum Muslimin pada saat itu. Bahkan pesohor kafir Quraisy seperti Abu Jahal pun memakainya. Kedua, ada beberapa budaya yang hadir sebelum munculnya Islam. Seperti al-jummah pada rambut kepala yang terus berlanjut hingga Islam datang. Hal ini tentu berbeda dengan agama yang muncul setelah Islam datang. Karena syariat atau agama hanya ada setelah datangnya Islam. Ketiga, ada beberapa budaya yang muncul sebelum Islam datang. Namun setelah datang Islam, turunlah wahyu dari Allah ï·». Maka, walaupun hal tersebut ada sebelum Islam datang, namun keberadaanya menjadi syariat berdasarkan wahyu yang diturunkan. Sebagaimana perhitungan bulan Qamariyah dan manasik haji. Dahulu sebelum Islam datang, keduanya adalah budaya jahiliyah dan syariat Nabi Ibrahim As. Ketika Islam datang dan menetapkan hal tersebut, maka hal itu menjadi bagian dari syariat Islam. Kaum Muslimin yang menggunakan bulan qamariyah tidak lantas mengikuti budaya jahiliyah, melainkan mengamalkan ajaran syariat Islam. Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam Muslim w. 256 H yang membuat bab khusus dalam Shahih-nya dengan judul ؚاؚ وُجُوؚِ امْتِثَالِ مَا قَالَهُ ؎َرْعًا دُونَ مَا ذَكَرَهُ صلى الله عليه وسلم مِنْ مَعَايِ؎ِ الدُّنْيَا عَلَى سَؚِيلِ الرَّأْىِ Artinya, “Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi yang Berupa Syariat, Bukan Pernyataan Beliau tentang Kehidupan Dunia Menurut Pendapatnya. Lihat Abû al-Hajjâj Muslim, Saឥiឥ Muslim, [Beirut Dâr al-Jîl, j. 7, h. 95 Imam al-Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, sebagaimana dikutip Kiai Ali Mustafa, juga menguatkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam permasalahan ini. Sehingga hal tersebut bisa dikategorikan sebagai bagian dari konsensus ijma’ ulama. Maka dari itu kita perlu meneliti lebih dalam ketika membaca sebuah hadits. Karena tidak semua hal yang kita temukan dalam hadits itu wajib kita ikuti. Kita wajib mengikuti jika hal tersebut merupakan bagian dari agama. Namun sebaliknya, jika tidak berkaitan dengan agama, maka kita tidak wajib mengikuti. Wallahu a’lam. Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi – Hadits tentang kebudayaan. Islam memiliki ketentuan, namun Indonesia juga memiliki budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Kadang, selalu ada perdebatan antara boleh atau tidak melestarikan budaya tertentu di samping aturan agama. Ada yang bersikeras melarang, ada juga yang memperbolehkan. Namun tentu saja keduanya tetap tidak bisa dipisahkan karena kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Lalu, sebenarnya bolehkah budaya tetap dilestarikan?Bagaimana pula pandangan agama Islam mengenai kebudayaan? Sebenarnya dalam hadits dan dalil shahih ada banyak petunjuk mengenai hal ini. Bila kita mempelajarinya, tentu kita akan mengetahui apa yang harus karena itu pada kesempatan ini kami ingin membagikan daftar kumpulan hadits dan dalil shahih tentang kebudayaan yang dirangkum dari berbagai sumber. Bacaan lafadz dan doa haditsnya bisa disimak di pembahasan Hadits Mengenai Kebudayaan1. Budaya Pernikahan2. Syariat Islam3. Budaya dalam MinumKumpulan Hadits Mengenai KebudayaanSimak langsung kumpulan daftar hadits yang menjelaskan tentang pandangan agama Islam terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia dan masih dilestarikan hingga kini. Ditulis dalam bahasa Arab, latin, dan Budaya PernikahanAisyah Radhiyalahu anha menceritakan “Sesungguhnya pernikahan pada masa jahiliyah ada empat macam. Pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Yaitu seseorang datang meminang wanita atau anak gadis kepada walinya, lalu ia memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya”.2. Syariat Islamؚاؚ وُجُوؚِ امْتِثَالِ مَا قَالَهُ ؎َرْعًا دُونَ مَا ذَكَرَهُ صلى الله عليه وسلم مِنْ مَعَايِ؎ِ الدُّنْيَا عَلَى سَؚِيلِ الرَّأْىِ Artinya, “Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi yang Berupa Syariat, Bukan Pernyataan Beliau tentang Kehidupan Dunia Menurut Pendapatnya. Lihat Abû al-Hajjâj Muslim, Saឥiឥ Muslim, [Beirut Dâr al-Jîl, j. 7, h. 953. Budaya dalam Minumسَأَن ُْنُك Øš يالَيِن م ÙŽÙŽÙ’ÙŽØš ٍؚ أَخ ْهَوُْناََؚنَََؚْ ير أَخ ياهو الطَّ ُيِن أَؚ َّدثَ َو Ø­ ُي ٍك أَنَّه الَين م ْيس Øš َأَن َْنَ ع ةَين أَيِؚ طَلْح ؚْا ََّّللي يدَؚْين ع َؚْقَْحيسإَْنعاَل ق ا يح َ َّرَا ْْل َْنَؚةَدْيَُؚعَي أََؚ يقُْت أَس ُْكن َْنََؚّ أُِؚ ََ و ةَطَْلح َأََؚ َوَْد قَرَْمَّن ا ْْل ياَل Ø¥ ََقٍت ف آْمَُهأََت ٍَر ف ََتْ َيضي ٍخ و َفْنيمااَؚ ٍَؚ َ؎ر َْكع اَهْرْكسي اَفَّةي رَا ْْل يهيذَََل ه يإُْمقَُسأَن ََ َي ةَو طَلْح ُاَل أَؚ ََقَ ْت ف يمرُحيلَفْيَِؚس اَُهتََؚْ َضر ا ف َا ٍس لَن َرْهيََل م يْ ُت Ø¥ ُمَقْت ف ََ َك َّسر ََّّت ت َحيهDan telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Malik bin Anas dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, “Saya pernah menuangkan minuman dari Fadlikh minuman yang terbuat dari campuran kurma muda dan Tamr minuman yang terbuat dari kurma kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Thalhah dan Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba seseorang datang kepada mereka sambil berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan.” Lantas Abu Thalhah berkata, “Wahai Anas, berdirilah! Ambil dan pecahlah bejana khamr ini.” Kemudian saya mengambil gentong milik kami dan saya pukul bawahnya hingga pecah.”KesimpulanSingkat saja, itulah hadits nabi tentang kebudayaan, kebudayaan islam, kebudayaan adalah, contoh kebudayaan islam, kebudayaan islam adalah, kebudayaan islam di indonesia, konsep kebudayaan dalam islam, kebudayaan islam makalah, prinsip kebudayaan Hadits Nabi Tentang Ka’bahHadits Tentang Berserah Diri atau TawakalBacaan Doa Setelah Sholat Sendirian

hadis nabi tentang kebudayaan